13 April 2008

Sejarah Singat Gereja Toraja

SEJARAH SINGKAT GEREJA TORAJALatar Belakang Gereja Toraja


1. Sejarah Gereja Toraja

Cikal bakal Gereja Toraja berawal dari benih injil yang ditaburkan oleh guru-guru sekolah Landschap (anggota Indische Kerk-Gereja Protestan Indonesia), yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, Sangir, Kupang, dan Jawa. Atas pimpinan dan kuasa Roh Kudus, terjadilah pembaptisan yang pertama pada tanggal 16 Maret 1913 kepada 20 orang murid sekolah Lanschap di Makale oleh Hulpprediker F. Kelleng dari Bontain. Pemberitaan injil kemudian di lanjutkan secara intensif oleh Gereformerde Zendingsbond (GZB) yang datang ke Tana Toraja sejak 10 Nopember 1913. GZB adalah sebuah badan zending yang didirikan oleh anggota-anggota
Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) yang m,enganut paham gereformeerd. GZB berlatarbelakang pietis, dalam arti sangat mementingkan kesalehan dan kesucian hidup orang Kristen. Injil yang ditaburkan oleh GZB di Tana Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB selama kurang lebih 34 tahun lamanya. Paham teologi GZB yang pietis itu banyak mempengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja sampai saat ini.

Pada tahun 1947 terjadilah babak baru dalam sejarah penginjilan di kalangan masyarakat Toraja. tepatnya pada tanggal 25 – 28 Maret 1947 diadakanlah persidangan Sinode I di Rantepao yang dihadiri oleh 35 utusan dari 18 Klasis. Sidang Sinode I ini memutuskan bahwa orang-orang Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan berdiri sendiri dalam satu institusi gereja yang diberi nama Gereja Toraja. Dalam rangka membina persekutuan, kesaksian dan pelayanannya sejak berdiri sendiri Gereja Toraja telah mengalami banyak pergumulan, baik yang berasal dari dalam dirinya sendiri (faktor internal), maupun yang berasal dari luar (farktor eksternal). Pergumulan internal yang cukup menonjol segera mencuat ke permukaan yaitu kurangnya tenaga pelayan (SDM) yang memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk mampu melayani dan membina warga gereja yang mulai bertumbuh serta mulai menyebar ke luar wilayah Tana Toraja. Masalah lain yang cukup menantang ialah bagaimana sikap Gereja Toraja yang benar, baik dan tepat terhadap adat-istiadat dan kebudayaan Toraja. Tantangan eksternal yang segera dihadapi Gereja Toraja yang relatif masih muda dan serba terbatas itu antara lain adanya pergolakan DI/TII. Pada saat itu warga Gereja Toraja cukup menghadapi tantangan disatu pihak, dipihak lain pertumbuhan jumlah anggota Gereja Toraja cukup drastis. Tetapi karena kurangnya tenaga pelayan, maka banyak orang Toraja yang menjadi Kristen tidak terbina sebelumnya dan kurang terlayani secara baik sesudah menjadi anggota Gereja Toraja. Akibatnya kualitas iman Kristiani menjadi memprihatinkan. Masalah lain turut mempengaruhi pertumbuhan Gereja Toraja adalah bertumbuhkembangnya ajaran komunisme yang memuncak pada peristiwa G30S/PKI di Indonesia. Ketika itu sebagian warga Gereja yang memiliki kadar iman yang tidak cukup kuat dengan mudah terseret oleh bujukan PKI tanpa mengetahui apa itu PKI dan apa tujuannya. Sementara di zaman Orde Baru, di satu pihak perkembangan Gereja Toraja secara kuantitatif dan penyebaran wilayah pelayanan cukup besar. Tetapi dilain pihak,warga Gereja Toraja sebagai bagian integral dari masyarakat dan bangsa Indonesia ikut tertulari oleh berbagai penyakit social saat itu. Salah satu masalah besar yang dialami masyarakat Indonesia di era Orde Baru adalah terjadinya kesenjangan social ekonomi antar masyarakat Indonesia. Keadaan ini berdampak pula bagi pertumbuhan Gereja Toraja yang tidak merata disegala bidang. Akibatnya warga gereja dan wilayah pelayanan Gereja Toraja sangat bervariasi. Sebagian besar warga Gereja Toraja masih hidup dalam kemiskinan, namun ada pula yang telah sejahtera dan mapan ekonominya. Dari sudut wilayah pelayanan, sebagian besar berada di pelosok-pelosok yang masih sulit dijangkau dan menghadapi masyarakat yang relatif homogen, namun sudah ada pula yang berada di kota metropolitan yang maju dan modern serta bergaul dengan masyarakat majemuk di berbagai bidang. Variasi ini melahirkan pula perbedaan kepentingan dan kebutuhan, sebab pola pikir, wawasan dan pola hidup merekapun berbeda. Keadaan ini pada gilirannya cukup mempengaruhi efektifitas dan efisiensi pelayanan Gereja Toraja. Hal lain yang perlu pula disinggung disini ialah masyarakat Indonesia telah menjadi amat pragmatis dan materialistis. Keadaan ini mau tidak mau berpengaruh pula kepada warga Gereja Toraja. Ketika orang telah menjadi materialistis, maka materi menjadi ukuran kesuksesan dan keberhasilan seseorang. Sifat ini selanjutnya akan melahirkan sikap yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh materi dengan segala dampak dan konsekuensinya. Tentu masih banyak lagi faktor lain baik internal maupun eksternal yang turut mempengaruhi perjalanan Gereja Toraja pada masa lampau, namun tidak dapat diuraikan secara lengkap. Faktor-faktor yang dikemukakan di atas hanyalah yang dianggap paling signifikan mempengaruhi perkembangan Gereja Toraja pada masa lampau sehingga Gereja Toraja ada sebagaimana ia ada pada saat ini.

2. Bentuk Gereja Toraja

Gereja Toraja dalam menata kelembagaan sebagai alat pelayanan menerapkan bentuk struktur pelayanan Presbiterial Sinodal, dengan pengertian yaitu :

• Bentuk Presbiterial, adalah pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang dilaksanakan oleh para presbiteroi (Pendeta, Penatua, dan Syamas ) dalam satu jemaat.

• Bentuk Sinodal ( Sinode artinya berjalan bersama) diwujudkan dalam proses pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan oleh Majelis Gereja dari seluruh Jemaat yang berhimpun bersama-sama secara berjenjang mulai dari Klasis, Sinode Wilayah sampai Sinode Am; yang sebagian kewenangannya dimandatkan kepada badan-badan pelaksana yang diangkat dalam masing-masing persidangan yang bersangkutan.

• Jadi bentuk Presbiterial Sinodal adalah pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang dilaksanakan oleh para presbiteroi (Pendeta, Penatua, Syamas) dalam satu jemaat, dengan keterikatan dan ketaatan kepada kebersama-samaan dengan para presbiteroi dalam lingkup yang lebih luas (Klasis, Sinode Wilayah, Sinode Am)

B. Analisis Medan Pelayanan

Setiap kelembagaan dapat mempertahankan eksistensinya apabila setia dan mampu menjalankan visi dan misi oraganisasinya secara konsisten, berkesinambungan, dinamis serta relevan dengan kebutuhan lingkungan dan jamannya. Dalam kerangka pemahaman tersebut Gereja Toraja sebagai sebuah lembaga harus memiliki kemampuan untuk tanggap dan adaptif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dirinya dan lingkungan strategis di sekitarnya.

Untuk itu, sebagai sebuah organisasi maka Gereja Toraja harus melakukan analisis dan identifikasi problematika dan tantangan lingkungan disekitarnya untuk menentukan perencanaan selanjutnya bagi pencapaian tujuan secara utuh. Dengan begitu maka Gereja Toraja mampu bergerak secara proaktif untuk memberikan respon pelayanan terhadap realitas kekinian yang berlangsung disekelilingnya sebagai tanggung jawab iman yang harus ditunaikan.

1. Kondisi Kekinian.

• Internal :

- Bentuk kelembagaan Gereja Toraja menerapkan sistem Presbiterial Sinodal yang terdiri dari 4 (empat) Wilayah yang membawahi 74 Klasis, 797 jemaat dan 290 lebih cabang kebaktian yang tersebar dibeberapa propinsi di Pulau Sulawesi, Kalimantan dan Jawa. Kondisi medan pelayanan dengan letak geografis yang berbeda tersebut secara otomatis menggambarkan keragaman dan perbedaan potensi dari masing masing wilayah pelayanan. Perbedaan potensi dari setiap wilayah pelayanan yang ada niscaya membutuhkan management (pengelolaan) yang kuat dan optimal, dengan tetap mempertimbangkan karakteristik masing-masing medan pelayanan.

- Bentuk Presbiterial Sinodal yang dianut Gereja Toraja diterapkan dengan pendekatan manajemen pengwilayahan pelayanan dalam rantai hirarkhi organisasi mulai dari tingkat Sinode Pusat, Wilayah, Klasis dan Jemaat. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengkoordinasian dan pendistribusian pelayanan secara terpadu kepada seluruh jemaat-jemaat dalam lingkup Gereja Toraja. Pilihan format pengorganisasian dengan rantai kelembagaan seperti ini sangat cocok diterapkan pada masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Gereja Toraja hingga decade tahun 90-an. Kini dengan perkembangan modernisasi yang menuntut kecep atan dan ketepatan serta semakin memudarnya batas-batas ruang dan wilayah akibat akselerasi teknologi di bidang komunikasi, informasi dan transportasi maka pilihan pengorganisasian dengan pendekatan yang ada sekarang ini ( Sinode Pusat, Wilayah, Klasis, Jemaat) dirasakan tidak lagi efektif dan efisien, malah semakin mengarah pada in-efisiensi Sumber daya dan dana serta terkesan birokratis dan lamban dalam merespon berbagai kebutuhan kekinian di medan pelayanan.

- Pada sisi fungsionaris pelayan / presbiteroi (Pendeta, Penatua, Syamas) juga perlu mendapat perhatian khususnya keberadaan tenaga Pendeta yang prosentasenya belum seimbang jika dibandingkan dengan kebutuhan jemaat dalam seluruh lingkup pelayanan Gereja Toraja. Jumlah Pendeta yang ada saat ini sekitar 500 orang dengan perbandingan 797 jemaat dan 290 lebih cabang kebaktian dirasakan belum mampu memenuhi kebutuhan pelayanan. Selain itu, hal yang cukup mendasar yang menjadi masalah adalah adanya kesenjangan potensi antar jemaat/wilayah pelayanan. Pada wilayah tertentu misalnya wilayah IV yang umumnya tersebar di daerah perkotaan memiliki potensi Sumber Daya yang mampu menjawab kebutuhan pelayanan wilayah yang bersangkutan, sementara pada wilayah pelayanan yang terletak di daerah pelosok dan pedesaan umumnya masih mengalami kendala diseputar Sumber Daya untuk menjawab kebutuhan pelayanan diwilayah tersebut. Keberadaan Penatua dan Syamas dimasing masing wilayah juga mengalami kesenjangan kualitas SDM sehingga hal tersebut sangat berimplikasi pada kualitas persekutuan, pelayanan dan kesaksian pada masing-masing wilayah (klasis dan jemaat).

- Dibidang sarana dan prasarana yang merupakan asset pendukung persekutuan, pelayanan dan kesaksian membutuhkan peningkatan kapasitas baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu dibutuhkan upaya peningkatan profesionalisme para pengelola dan pekerja pada masing-masing unit yang bersangkutan seperti : tenaga kesehatan (dokter/perawat) untuk 2 buah Rumah Sakit GT, tenaga guru/dosen untuk 44 sekolah dan 2 buah Perguruan Tinggi GT, tenaga pengelola untuk Lembaga Pelayanan Sosial GT, selain itu dibutuhkan modernisasi system, teknik, dan perangkat operasional pelayan melalui penggunaan teknologi komunikasi dan informasi.

- Kondisi keimanan warga jemaat banyak mengalami dekadensi (kemerosotan), hal ini dapat terlihat dari prilaku warga jemaat yang banyak terseret kedalam arus negatif globalisasi dan modernisasi seperti : terlibat Narkoba, premanisme dan sex bebas di kalangan generasi muda, berbagai bentuk perjudian, gaya hidup hedonisme dan berfoya-foya, kurang berempati terhadap kondisi sosial/kemasyarakatan yang berkembang disekelilingnya, dan lain-lain prilaku yang negatif. Jika dianalisis lebih jauh ternyata situasi demikian dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang signifikan berkorelasi positif adalah rendahnya kualitas pembinaan mental spritual dalam pelayanan Gereja Toraja yang disebabkan oleh mutu kotbah (rendah) dari para pelayan yang tidak mampu mengubah pribadi anggota jemaat, hal ini juga sangat terkait dengan muatan kotbah yang kurang kontekstual dengan pergumulan yang tengah dihadapai anggota jemaat, sering kali pemaparan kotbah hanya melakukan teknik analisi isi (content) berdasarkan tekstual Alkitab (belum kontekstual) dengan pemahaman akademik, filosofis yang tidak langsung dapat tercerna dan dipahami oleh jemaat yang hadir dalam ibadah. Hal lain yang turut berpengaruh secara signifikan terhadap degradasi keimanan jemaat adalah kurangnnya frekuensi pelayanan spritual seperti konseling mingguan (rutin), KPI kategorial mingguan (rutin), kelompok-kelompok sel PA. Kegiatan kerohanian hanya dilakukan sebagai tradisi mingguan (hari minggu dan ibadah Rumah Tangga). Sementara sepanjang hari senin hingga sabtu fungsi pelayan (khususnya Pendeta) tak lebih sekedar sebagai pekerja organisasi. Sementara justru sepanjang hari senin hingga sabtu warga jemaat begitu banyak mengalami pergumulan hidup yang sering kali menghantarkan mereka pada pengambilan jalan pintas untuk menyelesaikan masalah.

- Konsentrasi para Presbiteroi (Pendeta, Penatua, Syamas) lebih banyak tersita untuk mengurus dan mengelola Gereja pada sisi kelembagaannya ketimbang berkonsentrasi pada tugas-tugas pembinaan mental-spiritual warga jemaat selaku Gereja yang hakiki (orang / manusianya).

- Realitas internal kekinian gereja juga diwarnai oleh persinggungan kaum awam dan theolog dalam dalam memerankan fungsi pelayanan dan pendaratan makna evangelisasi di tengan jemaat dan maysrakat luas. Potensi kaum awam dalam sektor financial dan profesionalisme, serta kapasitas intelektualitas harus dipandang sebagai potensi positif dan talenta bagi fungsi kesatuan tubuh Kristus dalam tugas-tugas pelayanan yang kontekstual.

- Keberadaan lembaga pelayanan kategorial / OIG (SMKMGT, PPGT, PWGT) masih ditempatkan sebagai unsur complementary (pelengkap) yang belum menjadi fokus utama pelayanan dan pembinaan. Walaupun di atas kertas dalam setiap keputusan persidangan GT diberbagai tingkatan unsur OIG selalu mendapat rekomendasi untuk diberikan perhatian penuh, namun dalam realitas pengelolaan aktivitas pelayanan, mereka sering kali tidak mendapat perhatian yang cukup.

- Gereja Toraja memiliki keberagaman potensi yang dimiliki warga jemaat (talenta dan profesi) yang belum dikelola secara maksimal untuk mendukung tugas-tugas pelayanan secara luas. Warga Gereja Toraja kurang lebih 500.000 Jiwa yang tersebar diberbagai wilayah merupakan asset yang mampu memenuhi kebutuhan berbagai Sumber Daya yang diperlukan oleh Gereja Toraja dalam mencapai visi dan tujuan akhirnya.

MENYEBARKAN FIRMANMENYEBARKAN FIRMAN

• Eksternal :

- LOKAL :

- Gereja Toraja tumbuh dan berkembang dalam interaksi dengan budaya dan peradaban masyarakat Toraja. Tak bisa dipungkiri bahwa Gereja Toraja tak dapat dipisahkan dengan masyarakat Toraja, kondisi ini seringkali menghantarkan Gereja Toraja dipersimpangan jalan untuk memutuskan apakah menarik garis demarkasi secara tegas untuk menyatakan “ tidak ” terhadap adat-istiadat yang bertentangan dengan firman Tuhan, ataukah “ membungkus “ ketidakberdayaan pimpinan umat (gereja) terhadap eksistensi adat dan tradisi lokal dengan argumentasi “ bertheologi kontekstual “ untuk melanggengkan adat sekaligus agar misi pelayanan pekabaran injil tertap berjalan di tengah masyarakat Toraja yang masih memegang kuat tradisi nenek moyangnya. Hingga kini budaya “Rambu Solo” (kematian) masih menjadi fenomena yang tak mampu dibendung Gereja Toraja, padahal pada satu sisi, kegiatan ini sangat jelas mempertontonkan tradisi penonjolan pristise lewat pemborosan yang sangat bertentangan dengan etika protestan (protestant ethics) yang menekankan hidup hemat.

- Pergeseran tatanan politik melalui penerapan otonomi daerah pada satu sisi memberi ruang yang luas bagi partisipasi masyarakat lokal untuk mengekspresikan aspirasi mereka sesuai kepentingan dan masa depan yang diinginkan, namun pada sisi lain akan menimbulkan pergeseran konflik dari pusat ke daerah yang berjalan secara alami, situasi tersebut juga dipicu oleh ketidakmatangan mental para elit politik local dan pemimpin masyarakat yang dapat menimbulkan solidaritas sempit melalui semangat primordial, sektarianisme yang bisa bermuara pada gesekan sosial politik di tingkat lokal. Berbagai praktik money politics (politik uang) yang mengiringi otonomi daerah juga sangat berdampak buruk pada prilaku masyarakat yang semakin pragmatis dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidup. Fenomena tersebut juga menjadi tantangan Gereja Toraja selaku pengawal moral masyarakat.

- Partisipasi Gereja di bidang politik sering kali salah dimaknai oleh para elit Gereja Toraja sehingga menceburkan institusi Gereja Toraja dalam politik praktis berupa dukungan politik, klaim-klaim politik selaku wakil Gereja Toraja untuk memperebutkan jabatan politik, dan berbagai strategi terselubung lainnya yang dapat menghantarakan institusi Gereja Toraja ke arah perpecahan. Padahal yang diharapkan dari partisipasi Gereja dibidang politik adalah selaku instrumen untuk menyampaikan suara kenabian melalui kontrol dan himbauan moral bagi pribadi-pribadi warga Gereja Toraja maupun masyarakat luas yang terlibat dalam dunia politik untuk menjadikan politik sebagai instrumen dan medan pengabdian bagi kemuliaan nama Tuhan, untuk perwujudan syalom Allah di dunia.

- Berbagai masalah social yang kini terjadi di Tana Toraja yang notabene sebagai basis utama pelayanan Gereja Toraja dan seluruh instrumen kelembagaan Gereja Toraja berkedudukan di sana (mulai dari Jemaat, Klasis, Wilayah, hingga BPS), semakin mempertegas ketidakoptimalan fungsi pembinaan dan pelayanan mental spiritual Gereja Toraja terhadap lingkungan sekitarnya. Semakin maraknya peredaran narkoba, premanisme kelompok pemuda, sex bebas/ prostitusi terselubung, kriminalitas pencurian, perjudian, gaya hidup pragmatis dan hedonis adalah gambaran penyakit sosial masyarakat yang tumbuh karena semakin menipisnya kualitas keimanan masyarakat.

- NASIONAL :

- Kehadiran Gereja Toraja yang tersebar dibeberapa propinsi di tanah air membuka ruang dan kesempatan yang strategis untuk turut berperan serta secara signifikan bagi partsipasi penataan kebangsaan yang sedang membutuhkan gagasan-gagasan pencerahan dan pemikiran yang bernas dalam upaya pencarian jati diri ke-Indonesiaan yang tengah berada dalam masa transisi nilai dibidang politik, social, ekonomi dan relasi antar umat beragama.

- Tumbuh suburnya berbagai pemahaman theologis masa kini dirasakan membuat gereja-gereja di Indonesia semakin dinamis dalam kontekstual iman, namun pada sisi perjuangan gerakan oikumene kondisi tersebut jika tidak dikelola secara baik dapat berimplikasi pada kecenderungan makin menajamnya eksklusifitas denominasi masing-masing gereja karena perbedaan yang tajam pada sisi hermeneutika dan terminologi theologis.

- Konflik horizontal ditengah masyarakat akibat penggunaan simbol-simbol agama dan etnis telah memformat pola pikir masyarakat dalam bingkai rumah kaca primordialitas. Sementara para elit politik juga seringkali melakukan politisasi agama dan agamaisasi politik demi kepentingan sesaat dan tujuan kelompok sempit yang dapat menghantarkan relasi keagamaan kejurang perpecahan dan kekerasan agama. Realitas ini menjadi tantangan Gereja Toraja untuk turut membangun kontrol yang signifikan bagi cara-cara yang pragmatis seperti itu.

- Dibalik maraknya orang menjalani kehidupan ritual keagamaan, termasuk masyarakat kristiani, justru pada sisi lain terjadi arus balik dimana kehidupan keagamaan itu menjadi terasing dari kehidupan. Inilah yang disebut sebagai irrelevansi agama dan idolatri agama, karena dibalik bangkitnya semangat kegamaan dalam wujud ritualisme, formalisme, dan vertikalisme, maka bersamaan dengan itu telah terjadi keruntuhan moral dan etika para pengikut (umat) dari masing-masing agama. Bahkan yang lebih tragis adalalah munculnya berbagai benturan antar umat agama diberbagai pelosok di tanah air yang semakin melegitimasi sisi buruk kehidupan keagamaan di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa ajaran moral, etika dan kasih yang diajarkan Gereja belum mampu menuntun gereja dan warganya untuk memasuki kehidupan bermasyarakat secara baik dalam kehidupan majemuk.

- Tragedi sosial dalam lingkup Nasional yang begitu beruntun (bencana alam seperti: tsunami, gempa, longsor, banjir,dll) yang merenggut ribuan nyawa telah menyinggung perasaan kemanusiaan seluruh komponen bangsa Indonesia. Kejadian ini harus dilihat sebagai sebuah waktu Illahi (chairos Allah) untuk mengaktualisasikan solidaritas kemanusiaan Gereja sekaligus mengembangkan sensitifitas dan solidaritas sosial gereja sebagai lembaga pelayanan dalam arti luas untuk menegaskan keberpihakan gereja bagi orang yang tengah menghadapi kesulitan tanpa memandang latar belakang perbedaan sosial, agama, dan etnis.

- Pasca pemilu 2004 telah menghasilkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan tengah menjalankan komitmen untuk melakukan pemberantasan Kolusi Korupsi Nepotisme, clean government (pemerintahan bersih), penegakan hukum, pemberantasan illegal loging (penyelundupan kayu), pemberantasan Narkoba dan berbagai program besar yang harus didukung oleh seluruh komponen masyarakat. Selaku pilar moral-spiritual maka Gereja Toraja secara proaktif harus memainkan peran yang signifikan bagi program nasional yang tengah dijalankan oleh pemerintah. Memberi pembinaan mental, moral dan suara kenabian yang lebih praksis, konkrit, dan tegas bagi warganya maupun masyakat secara luas adalah langkah yang harus dilakukan oleh Gereja Toraja dengan segala konsekuensi sebagai pemikul salib Kristus.

- Salah satu danpak negatif dari kebijakan desentralisasi (otonomi daerah) dalam tatanan politik di tanah air menempatkan eksistensi Gereja pada posisi yang terjepit, yang disebabkan adanya kepentingan-kepentingan sempit dari kelompok tertentu yang tidak menghendaki Gereja tumbuh dan berkembang dibumi Indonesia. Kelompok tersebut adalah para “ petualang-petualang ideology “ yang sejak NKRI berdiri sudah memaksakan kehendak mereka untuk mendirikan Negara Indonesia berdasarkan platform agama tertentu. Melalui media otonomi daerah kini gerakan tersebut kembali muncul ke permukaan dengan strategi regulasi di tingkat local ( lewat PERDA, dan aturan lokal lainnya) yang merupakan turunan dan reinkarnasi SKB tahun 1969, bahkan lebih jauh dari itu kelompok-kelompok tersebut kini secara terang-terangan berjuang untuk penerapan syariat agama tertentu di beberapa daerah. Realitas ini sungguh merupakan pengingkaran terhadap NKRI dan sangat rentan menimbulkan konflik beragama. Secara khusus gerakan ini sangat meresahkan dan menjadi hambatan bagi pertumbuhan gereja ke depan.

- Mengemukanya berbagai gerakan radikal/fundamentalis dari kelompok tertentu yang terekspresi melalui gerakan teroris merupakan persoalan yang harus diantisipasi secara bijak oleh Gereja. Pada satu sisi implikasi dari prilaku terorisme ini menimbulkan kewaspadaan sekaligus phobia (ketakutan) dalam melakukan ritual keagamaan bagi umat Kristen, namun pada sisi lain Gereja juga dituntut untuk berani melakukan perlawanan moral terhadap tindakan-tindakan yang tidak manusiawi tersebut, sekaligus juga menjadikan hal tersebut sebagai moment untuk menginstropeksi, re-stropeksi dan otokritik terhadap strategi, mekanisme, bentuk-bentuk kehadiran Gereja di tengah-tengah masyarakat majemuk di Indonesia.

- GLOBAL :

- Situasi dan kecenderungan umum yang akan banyak mewarnai perjalanan umat manusia (termasuk Gereja) di awal abad 21 akan diwarnai dengan issu-issu besar seperti : globalisasi dan tingginya penghargaan akan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), perjuangan terhadap nilai demokratisasi, perhatian terhadap lingkungan hidup seperti pembangunan berkelanjutan (suistenable development) , kebangkitan agama-agama dan kesetaraan Gender. terhadap berbagai kondisi tersebut diperlukan apresiasi secara professional dalam rangka memahami perubahan tanda-tanda jaman yang sedang berlangsung. Fenomena Globalisasi tersebut berlangsung begitu cepat dan tanpa disadari kita (gereja) telah berada di dalam pusarannya. Globalisasi di bidang politik ditandai dengan kemenangan ideologi dengan pendekatan sistem demokrasi atas komunisme, dibidang ekonomi melalui kemenangan ekonomi liberal-kapitalisme, dibidang sosial-budaya ditandai dengan perjuangan civil society, dibidang teknologi dengan akselerasi teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Globalisasi juga ditandai dengan adanya apresiasi dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan (knowledge based society). Melalui berbagai kemajuan tersebut, sekat ruang dan waktu terasa semakin maya dan membuka kemungkinan bagi seluruh komponen umat manusia untuk bias berinteraksi secara langsung tanpa adanya kendala. Kemajuan ini akan memungkinkan setiap manusia dari berbagai latar belakang social-budaya-ekonomi-geografis dapat berinteraksi dan bekerjasama bagai pencapaian tujuan bersama, namun pada sisi lain persaingan dalam situasi yang bebas ini dapat berdampak pada kesenjangan kehidupan yang makin besar di bidang ekonomi dan penguasaan sumber daya strategis lainnya oleh kelompok-kelompok tertentu yang mampu menguasai faktor-faktor determinan dalam globalisasi tersebut. Dampak negatif lain dari arus globalisasi adalah pola hidup masyarakat yang cenderung pragmatis karena fasilitas yang serba instan, dampak kebebasan informasi yang mengarah pada prilaku sex bebas, gaya hidup hedonis, dan penggunaan modernisasi teknologi untuk kegiatan negatif dan kriminalitas. Berbagai fenomena ini harus menjadi faktor yang perlu diantisipasi Gereja Toraja dalam menata pola persekutuan, pelayanan dan kesaksian di tengan warga gereja dan warga masyarakat yang lebih luas.

2. Kecenderungan Masa Depan.

• Keberadaan Gereja tidak hanya dipandang dari sudut kelembagaan semata melainkan harus ditempatkan dalam kerangka theologis yaitu sebagai persekutuan orang percaya yang ditempatkan di tengah dunia untuk memberi kesaksian dan pelayanan. Sebagai institusi Illahi yang langsung bersentuhan dengan masyarakat (jemaat) maka gereja dituntut untuk memiliki kepekaan yang tinggi terhadap fenomena social dan politik yang terjadi disekitarnya sehingga gereja mampu memetakan dan membaca tanda-tanda zaman dan tidak lagi bersikap afirmatif dan kompromis terhadap praktik-praktik penyelewengan, penindasan, dan ketidakadilan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, melainkan berani mengambil peran lebih jauh dalam menyuarakan hati nurani masyarakat luas (vox populi vox dei) ke arah penegakan keadilan dan kebenaran. Kondisi social di negara-negara berkembang yang dipengaruhi oleh kemajuan peradaban menempatkan keberadaan lembaga-lembaga social kemasyarakatan yang bersentuhan langsung dengan basis (termasuk lembaga kerohanian/keumatan) menjadi faktor determinan membangun karakter dan prilaku masyarakat secara umum. Olehnya itu keberadaan Gereja Toraja sebagai salah satu lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat (warga gereja) ditantang untuk mampu menawarkan perubahan moral, mental dan spiritual yang nyata dan membumi baik bagi warganya maupun bagi masyarakat luas (sentrifugal), sebagaimana visi dan misi Gereja Toraja untuk menghadirkan damai sejahtera bagi semua.

• Perubahan tatanan kehidupan akibat kemajuan peradaban dalam globalisasi yang menuntut kenyamanan, ketepatan dan kecepatan pelayanan di segala sisi kehidupan manusia mendorong segala pranata sosial yang ada dalam masyarakat (termasuk gereja) untuk mampu beradaptasi dan melakukan penyesuaian-penyesuaian strategi dalam usaha mencapai tujuan masing-masing. Keberadaan pranata dalam masyarakat yang tak mampu menjawab kebutuhan pengikutnya akan tertinggal dan ditinggalkan warganya untuk mencari tawaran pelayanan pada kelembagaan lain yang lebih kompetitif. Demikian pula dengan keberadaan Gereja Toraja dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang lebih optimal bagi kebutuhan siraman rohani warga gereja Toraja yang semakin terkungkung dan mengalami kelabilan mental dan emosional. Pada situasi ini dibutuhkan kreatifitas pelayanan kerohanian yang mampu menyentuh dan mengangkat semangat keimanan/spiritualitas warga gereja. Perkembangan kemajuan juga menuntut adanya modernisasi kelembagaan melalui peningkatan sarana dan prasarana pelayanan, profesionalisme para pelayanan dan pekerja gerejawi, modernisasi system dan mekanisme kerja organisasi serta pengelolaan /manajemen kelembagaan yang profesional.

BAHAN DISADUR DARI:

a/n Panitia SSAXXII Bidang Materi

TIM RANTUS PROGRAM :

Tidak ada komentar: