12 Februari 2008

Injil, Damai Sejahtera Bagi Semua

Dari Konsultasi Regional Pekabaran Injil di PSP Tangmentoe, Tana Toraja

Pekabaran Injil adalah tugas hakiki gereja, yang melekat pada gereja, dan karena itu tidak mungkin diabaikan. Tugas itu amat luas dan tidak dapat direduksi hanya pada sekadar pemberitaan kata-kata saja, tetapi juga melalui perbuatan. Injil itu bersigat menyelamatkan, artinya orang yang mendengarkannya harus memperoleh kesejahteraan dan kesejukan. Karena itu tidak dapat dipaksakan. Demikian juga tidaklah layak kalau kita menetapkan target-target tertentu, misalnya dengan mengatakan bahwa tahun sekian daerah A sudah harus menjadi Kristen. Ini mendaulat kedaulatan Allah yang berkuasa mengubahkan dan memperbarui. Injil juga bersifat memperdamaikan, artinya suasana damai-sejahteralah yang harus diciptakan di antara manusia. Suasana damai sejahtera dengan Allah harus terefleksi di dalam damai sejahtera dengan sesama manusia.
Jadi tugas ini amat luas. Pekabaran Injil dialamatkan kepada berbagai upaya-upaya menghapuskan kemiskinan, misalnya. Kalau gereja secara serius melakukan itu, maka Injil telah dikabarkan. Injil adalah kabar baik bagi mereka yang berada dalam penindasan. Kalau dalam suasana yang mencekan gereja datang dengan berita pembebasan yang konkrit, maka Injil telah diberitakan. Bahkan di dalam menghadapi berbagai pencemaran lingkungan yang makin mendera dunia kita dewasa ini, berita pembebasan yang harus diwartakan sekuat-kuatnya bai alam semesta. Kita tidak dapat mengklaim pemberitaan Injil apabila kita tidak mendukung berbagai upaya pelestarian lingkungan hidup. Contohnya, Amerika Serikat sampai sekarang belum mau menandatangani Protokol Kyoto. Protokol itu mengandung semacam ajakan kepada semua pemerintah di dunia untuk mengurangi atau bahkan menghapus efek rumah kaca yang menyebabkan polusi. Kita sudah melihatnya sekarang dalam wujud ketidakteraturan iklim yang melanda seluruh dunia. Ada salju yang turun di luar waktu lazim.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pdt. Dr. A.A. Yewangoe, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) ketika menyampaikan pokok pikiran “Gereja di Indonesia dan Pekabaran Injil” dalam konsultasi Regional PI dalam masyarakat Majemuk untuk wilayah Indonesia Tengah yang yang berlangsung di PSP Tangmentoe Tana Toraja pada tanggal 13-15 Agustus 2007. Kegiatan ini dilaksanakan oleh bidang Marturia PGI bekerjasama dengan Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja.
Lebih jauh Pdt. Yewangoe, dihadapan 50-an peserta yang berasal dari berbagai Sinode dan Lembaga yang ada di Sulawesi, mengungkapkan bahwa konon di Amerika Serikat ada Gereja yang amat berpengaruh dan sangat giat dalam rangka Pekabaran Injil, tetapi justru menganjurkan agar Presiden George W. Bush Jr tidak perlu menandatangani protokol. Ini tentu ada pertimbangan dagang di belakangnya. Sikap seperti ini adalah sikap yang tidak sungguh-sungguh memberitakan pembebasan kepada dunia ini.

Perlu dialog
Masalah dialog merupakan sebuah keharusan diantara umat beragama. Menurut Hans Kung, tidak ada perdamaian diantara bangsa-bangsa tanpa perdamaian diantara penganut agama-agama. Tidak ada perdamaian diantara penganut agama-agama tanpa dialog antar umat beragama. Tidak ada dialog antar umat beragama tanpa pemahaman yang mendalam atas masing-masing agamanya. Demikian diungkapkan oleh Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow dengan judul materi Membangun Dialog antar Umt berbeda agama dalam masyarakat Majemuk.
Adapun titik tolak dari dialog adalah sebagai panggilan missioner gereja/orang Kristen untuk mengasihi sesama manusia guna bersama-sama penganut agama-agama lain mewujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.

Islam Agama Cinta Damai
Dari segi penamaan, Islam berbeda dari agama samawi lain yang namanya dinisbatkan kepada nabi sang penerima wahyu. Nama Islam terambil dari akar kata salima yang maknanya berkisar pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Salah satu sifat Allah yang terpuji adalah as-Salaam. Disebut demikian karena Dia Maha Sempurna, terhindar dari segala aib, kekurangan, dan kepunahan.
Islam secara teologis merupakan rahmat bagi seluruh alam. Ajarannya mengandung nilai-nilai universal, meliputi semua aspek kehidupan manusia. Dari aspek kehidupan, ajarannya meliputi persoalan manusia sejak sebelum dilahirkan sampai ke saat kematian. Dari aspek hukum, meliputi berbagai persoalan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun anggota masyarakat. Dari aspek psychologis, ajarannya memberikan ketenteraman lahir batin; dan dari aspek antropologi ajarannya ditujukan kepada semua bangsa dan masyarakat.
Islam amat menonjolkan ajaran persamaan antar semua manusia. Seluruh ajarannya mengedepankan persamaan derajat antar bangsa, warna kulit, keturunan, letak geografis, dan status sosial. Kalaupun dalam perbedaan di antara mereka, perbedaan itu tidaklah dimaksudkan untuk saling menindas, mendiskriminasi, dan bermusuhan, melainkan untuk tujuan yang luhur, yaitu saling mengenal dan sekaligus untuk menguji siapa yang lebih takwa kepada-Nya. Manusia hanya dibedakan dari aspek prestasi dan kualitas takwanya. Demikian ajaran yang temaktub dalam teks-teks suci ajaran Islam.
Namun, ketika ajaran luhur itu turun ke bumi dan diimplementasikan dalam kehidupan manusia, maka di sana-sini terjadi distorsi. Manusia seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak sama, manusia hanya diakui setara di hadapan Tuhan, tidak demikian di hadapan manusia. Diskriminasi atas dasar perbedaan warna kulit, status sosial, dan seterusnya tidak bisa dieliminis sepenuhnya.
Demikian diungkapkan oleh Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA staf ahli Menteri Agama Bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional dan pengamat Masalah Gender, perempuan pertama yang dikukuhkan LIPI sebagai ahli Peneliti Utama, menyoroti masalah Jender dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.
Lebih jauh diungkapkan untuk menyikapi berbagai konflik yang ada, tampaknya upaya dialog masih merupakan alternatif solusi yang tepat untuk mendewasakan umat beragama. Yang perlu ditingkatkan adalah kualitas dan intensitas dari dialog itu sendiri. Para pemuka agama mestinya tidak perlu risih untuk berpolemik antara satu sama lainnya. Melalui polemik yang berjalan damai akan teruji kekuatan argumentasi masing-masing, dan pada gilirannya akan tampak ketepatan interpretasi masing-masing. Umat beragama pada dekade berikutnya akan mengambil manfaat dan banyak belajar dari polemik dan perbenturan pendapat itu. Selain itu, perlu juga membangun dialog kehidupan, yakni dialog dalam bentuk kerjasama mengatasi berbagai persoalan riil di masyarakat, seperti menanggulangi busung lapar, mengeliminasi kemiskinan dan pengangguran, memerangi narkoba dan HIV/Aids, melakukan aksi donor darah, dan membantu kelompok masyarakat yang tertimpa bencana, baik bencana alam maupun bencana akibat keserakahan manusia. Dalam dialog kehidupan itulah biasanya akan terbangun rasa solidaritas di antara umat yang berbeda agama menuju terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Memang sering muncul kekhawatiran bahwa dengan terungkapnya kelemahan dan bahkan, kekeliruan dari pendapat-pendapat yang selama ini sudah dianggap mapan dalam kehidupan beragama masyarakat, akan menimbulkan keresahan dan kegelisahan. Justru seharusnya di sinilah letak tugas dan fungsi pemimpin agama mendampingi umatnya dalam proses keberagamaan mereka dan meyakinkan bahwa proses keberagamaan itu tidak pernah final atau selesai, melainkan berlangsung sepanjang hayat manusia.
Mencegah timbulnya berbagai konflik seperti di atas, sejumlah solusi ditawarkan, dan yang paling menjanjikan tampaknya adalah bagaimana menciptakan kondisi dan suasana yang memungkinkan terjadinya dialog di antara umat yang berbeda agama. Melalui dialog mereka diharapkan dapat saling mengenal dan memahami agama mitra dialog mereka masing-masing yang pada gilirannya nanti akan mencari sisi-sisi yang sama di antara ajaran agama yang berbeda itu untuk dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat. Untuk itu, perlu ada semacam gentlemen agreement, yakni bahwa di antara pihak-pihak yang terlihat dalam dialog tersebut tidak akan saling mengintervensi atau saling mempengaruhi keyakinan masing-masing.
Agar dialog dapat berjalan efektif dan menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak, maka para pelaku dialog harus memiliki komitmen untuk menerima toleransi dan pluralisme. Toleransi pada intinya adalah kemampuan menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan, sedangkan pluralisme adalah kesediaan menerima kemajemukan untuk kemudian terlibat secara aktif dalam mempertahankan kemajemukan tersebut sebagai sesuatu yang harus diterima dan juga harus dirayakan.
Dalam konteks agama, pluralisme berarti setiap pemeluk agama harus berani mengakui eksistensi dan hak agama lain dan selanjutnya bersedia aktif dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan berbagai agama menuju terciptanya suatu kerukunan dalam kemajemukan agama. Hanya saja perlu diwaspadai agar pluralisme yang dicita-citakan itu tidak menjelma menjadi sinkretisme, kosmopolitanisme, dan relativisme. Untuk menghindari ketiga hal tersebut, maka pluralisme yang akan diwujudkan hendaknya beranjak dari komitmen yang kuat dari setiap pemeluk agama terhadap ajaran agama masing-masing.

Perjumpaan Islam dan Kristen di KTI
Dalam rangka memberikan wawasan mengenai bagaimana perjumpaan Kristen dan Islam di Kawasan Timur Indonesia, Pdt. Dr. Jan S. Aritonang menyampaikan materi Pekabaran Injil di tengah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Diuraiakan bagaimana para pekabar Injil memasuki daerah di KTI, pelayananya, perjumpaan dengan para penguasa yang ada di sana hingga perjumpaan antara umat Kristen dan umat Islam.

Seruan pertobatan dari Meko
Meko adalah nama sebuah desa di wilayah kabupaten Poso yang sejak pertengahan Januari 2007 terjadi kesembuhan dari berbagai “penyakit”, terjadi rekonsiliasi natural, pertemuan manusia yang latar belakang agama yang berbeda-beda, kaya dan miskin menjadi sama dan berinteraksi dengan damai di Meko.
Di Meko, Selvin Lidya Anugrayani seorang anak perempuan berusia 9 tahun dan ibunya mengajak berdoa: “Doa Bapa Kami” dan melagukan dengan judul: “Allah kuasa melakukan segala Perkara”. Dalam pelayanan di Meko diseruhkan tentang pertobatan, menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi, rumah tangga, keluarga dan masyarakat.
Demikian diungkapkan Pdt. Rinaldi Damanik, S.Th mantan ketua Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah ketika memberikan informasi sekitar Peristiwa Meko sebuah persfektif empiris dihari terakhir konsultasi ini.
Masukan lain, Pdt. Dr. Tertius Lantigimo, PI dalam tinjauan Biblis, dosen Biblika STT GKST. Masukan lain diungkapkan oleh Pdt. Paul Patanduk, S.Th dari PGIW Sulselbara, Pdt. Musa Salusu, M.Th dari Gereja Toraja, Pdt. Dr. R. Humphrey S. Kariodimedjo dari PGIW daerah Istimewa Yogyakarta. (Aleksander Mangoting)

Tidak ada komentar: