12 Februari 2008

Rumusan Hasil Konsultasi PI II

R U M U S A N

HASIL KONSULTASI PEKABARAN INJIL II
GEREJA TORAJA
Tanggal 14 - 19 Maret 1994, di Rantepao-Tana Toraja
_______________________________________________________

Dengan mengucap syukur kepada Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, Gereja Toraja telah melaksanakan Konsultasi Pekabaran Injil yang kedua pada tanggal 14-19 Maret 1994 bertempat di gedung pelayanan jemaat Rantepao, dengan tema HIDUP DAN BERSAKSI BERSAMA DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK. Konsultasi ini dilaksanakan berdasarkan :
1. Keputusan Sidang Sinode Am XIX Gereja Toraja, thn 1992, No.008, pasal 17.
2. Keputusan Sidang Sinode Kerja VII Gereja Toraja, Nopember 1993, No 009 - Bidang Theologia, psl 10.
3. Keputusan Rapat BPS Gereja Toraja tentang tentang Program Kerja Bidang Theologia, khususnya Program Kerja Lembaga Pekabaran Injil Gereja Toraja, periode 1992-1996.

Dalam melaksanakan Konsultasi ini, dengan bertitik tolak dari Pengakuan Gereja Toraja serta Hasil Konsultasi Pekabaran Injil I Gereja Toraja, tgl 2-4 Maret 1972, para peserta telah menggumuli bersama berbagai masalah dan tantangan tugas panggilan gereja di bidang Pekabaran Injil. Semua itu dilakukan melalui pemberitaan firman Allah berupa khotbah dan PA, sambutan-sambutan, ceramah-ceramah serta diskusi-diskusi panel.
Berikut ini adalah hasil dari semua pergumulan itu, yang merupakan Hasil Konsultasi Pekabaran Injil II Gereja Toraja :

I. DASAR TEOLOGIS MISI DAN PEKABARAN INJIL

1. Misi gereja bertitik tolak dari kesaksian Alkitab tentang penciptaan langit dan bumi dan segala isinya. Allah menciptakan langit dan bumi dengan sempurna dan menempatkan semua itu di dalam relasi yang harmonis dan saling menghidupi.

2. Dari antara seluruh ciptaan itu, manusia menduduki posisi sebagai makhluk yang paling mulia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (imago dei). Gambar Allah dipahami sebagai relasi dalam tanggung jawab manusia kepada Allah, manusia terhadap sesamanya dan manusia dengan alam semesta (Kej 1:26-28; Mz 8:6-9; Yoh 1:9-12).

3. Ketidaktaatan dan pemberontakan manusia terhadap Allah, mengakibatkan umat manusia tidak sanggup lagi hidup dalam relasi yang benar dengan Allah, dengan sesamanya manusia dan dengan alam semesta; seluruh ciptaan Allah berada di bawah hukuman murka Allah (Kej 3:6-7, 14-24). Manusia sendiri telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh karena itu tidak dapat lagi mengenal Allah dengan benar (Roma 3:23). Segala kecenderungan hati manusia selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej 6:5; Roma 1: 21b). Manusia memutarbalikkan kebenaran dengan menyembah makhluk ganti Khalik (Roma 1:18dst).

4. Tetapi Allah tetap mengasihi seluruh ciptaanNya. Sebab itu Ia mengutus Yesus Kristus untuk menyelamatkan dunia ini (missio dei/missio christi; Yoh 3:16). Di dalam dan melalui Kristus Allah memanggil seluruh umat manusia dan seluruh dunia ini ke dalam keselamatan yang dikerjakanNya. Di dalam Yesus Kristus, yaitu Firman yang menjadi manusia (Yoh 1:1-14), yang dikenal sebagai Yesus dari Nazaret, yang adalah manusia sejati dan sekaligus Allah sejati, dan yang telah menderita sengsara dan mati di atas kayu salib, dikuburkan dan telah bangkit kembali dari antara orang mati, Allah telah mewujudkan Khabar Baik yaitu keselamatan yang Ia janjikan bagi seluruh ciptaanNya itu. Di dalam Kristuslah Allah telah mendamaikan segala sesuatu dengan diriNya. Di dalam Kristus itulah manusia akan dapat menemukan jalan damai kepada sesamanya manusia dan kepada seluruh alam semesta ini.

5. Dari antara bangsa-bangsa dan suku bangsa-suku bangsa, sebagai buah sulung dari karya penyelamatan dan pendamaian itu, Allah dalam Yesus Kristus telah memanggil sebuah persekutuan umat yang baru, umat kepunyaan Allah, yang disebut gereja (Kej 12:1-9; Kel 19:5-6; Kis Ras 20:28; I Petr 2:9-10). Ia diutus ke dalam dunia ini untuk menjadi berkat bagi seluruh kaum, bahkan bagi seluruh makhluk ciptaan Allah (missio ecclesiae; Kej 12:3; Mark 16:15). Hidupnya dan baktinya adalah demi untuk dunia ini, yaitu untuk memberitakan Khabar Baik (=Injil) kepada dunia ini (Luk 4:18-19), agar dunia percaya dan beroleh keselamatan yang dari Allah dalam Yesus Kristus itu. Ia tidak hidup untuk dirinya sendiri !

6. Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan, membebaskan, membaharui, mendamaikan dan mempersatukan (Roma 1:16-17; Luk 4:18-19). Semua itu secara lengkap dan sempurna telah menjadi nyata dan diwujudkan dalam karya Yesus Kristus. Ia telah membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan atas diri manusia, seperti belenggu penyakit, kemiskinan dan ketidakadilan sosial, penindasan manusia atas sesamanya, dsbnya.

7. Gereja sebagai persekutuan baru, sebagai umat milik kepunyaan Allah yang diutus ke dalam dunia ini, telah menerima tugas dan tanggung jawab untuk menyampaikan Khabar Baik itu kepada seluruh umat manusia dari berbagai latar belakang sosial budaya, ras, bangsa/suku bangsa, agama, dll. Karena panggilannya itu, ia (gereja) berhutang kepada semua orang mengenai Injil sebagai Khabar Baik dari Allah itu (Roma 1:14). Ia harus membayar hutang itu dengan jalan berupaya sekuat tenaga, di bawah bimbingan Roh Kudus, untuk mewujudkan Khabar Baik itu bagi semua orang, dalam situasi dan konteks kehidupan masing-masing yang nyata.

8. Dalam melaksanakan tugas panggilannya, gereja harus selalu memperhitungkan konteks (=keadaan lingkungan) di mana ia membberitakan Injil itu. Dalam hubungan dengan itu, Konsultasi Pekabaran Injil II Gereja Toraja memahami bahwa ada tiga konteks yang harus selalu diperhitungkan, yaitu Konteks osial budaya, Konteks Agama-agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan konteks dunia modern (globalisasi,IPTEK dan Informasi).


II. PEMAHAMAN TENTANG KONTEKS GEREJA DALAM RANGKA MELAKSANAKAN MISI GEREJA YAITU MEMBERITAKAN INJIL
KEPADA SEGALA MAKHLUK.

A. Konteks Sosial Budaya.

1. Berbudaya adalah tugas yang diberikan Allah kepada mnausia (Kej 1:28f; 2:15). Dengan akal budi yang dikaruniakan Allah kepadanya, manusia diberi kemampuan, kemungkinan, wewenang dan tanggung jawab untuk mengolah, memanfaatkan, memelihara serta mempertanggungjawabkan seluruh kemungkinan yang terkandung di dalam alam semesta ini.

2. Tetapi dosa telah mengakibatkan manusia memutarbalikkan semua itu di hadapan Allah dan terhadap sesamanya manusia (Kej 3:17f; 11:1-11). Manusia mempergunakan kemampuan berbudayanya sebagai kesempatan memberontak melawan Allah. Karena itu, dalam berbudaya dan melalui kebudayaannya manusia memperlihatkan ketidakpengenalan yang benar akan Allah, bahkan memutarbalikkan kebenaran tentang Allah (bnd.Roma 1:18ff).

3. Melalui Yesus Kristus yang telah menjadi manusia itu, Firman Allah masuk ke dalam kebudayaan manusia (Yoh 1:14). Firman Allah menyatu dengan kebudayaan manusia. Firman itu tidak menarik manusia dari dalam kebudayaannya dan masyarakatnya, melainkan membaharui kebudayaan manusia dengan jalan mengadakan pembaharuan di dalam diri manusia, membaharui hati dan akal budi manusia (bnd.II Kor 5:17), sehingga seluruh aktivitas hidup manusia senantiasa berpadanan dengan Injil Kristus dan tertuju kepada perwujudan langit baru dan bumi baru (bnd.Wahyu 21:1-8).

4. Oleh karena itu gereja terpanggil untuk memahami dengan benar, membaharui, menumbuhkembangkan, serta memanfaatkan kebudayaan secara positif, kritis, dan kreatif dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat di bawah terang firman Allah. Itulah transformasi kebudayaan.
Gereja tidak anti kebudayaan. Tetapi gereja menolak setiap praktek berbudaya manusia yang membelakangi Allah dan -- karena itu-- merusak kehidupan manusia dan masyarakat.

5. Di dalam setiap kebudayaan dari sesuatu suku atau bangsa terkandung nilai-nilai luhur, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :nilai-nilai magis-religius, nilai-nilai hukum, nilai-nilai pola kehidup-
an, nilai-nilai etika, dan nilai-nilai hubungan sosial kemasyarakatan. Berpedoman kepada pemahaman akan nilai-nilai budaya yang sedemikian itulah gereja dapat melakukan transformasi (= pembaharuan) kebudayaan. 6. Transformasi kebudayaan adalah suatu proses yang dinamis dan membutuhkan waktu, ketekunan dan kesabaran, dan harus selalu ditempatkan di bawah terang firman Allah dan oleh bimbingan kuasa Roh Kudus (bnd. Kel. 31:1-11; 35:30-36:7). Transformasi membutuhkan strategi, dan strategi yang tepat adalah dengan mengangkat nilai-nilai yang melekat pada sesuatu unsur kebudayaan tertentu ke dalam pola hidup dan pelayanan gereja.

7. Bagi Gereja Toraja yang bertumbuh secara khusus di dalam konteks sosial budaya Toraja, dengan senantiasa menyadari akan kehadiran dan pelayanannya di dalam konteks sosial budaya bangsa Indonesia pada umumnya, salah satu strategi yang mungkin dapat ditempuh adalah dengan mengangkat nilai-nilai sosial budaya yang melekat pada budaya tongkonan sebagai sumber budaya Toraja, untuk membentuk pola-pola hidup dan pelayanan gereja. Untuk itu dibutuhkan suatu pengkajian yang mendalam dan terus-menerus mengenai budaya tongkonan itu.


B. Konteks Agama-Agama dan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

1. Bangsa Indonesia mengakuai kepelbagaian agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia. Kepelbagaian agama (pluralitas agama) itu merupakan salah satu ciri khas dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Kepelbagaian itu merupakan suatu kekayaan bangsa Indonesia, merupakan sumber inspirasi dan motivasi untuk membangun bangsa ini berasaskan kekeluargaan, saling menghormati, dengan tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan suku, ras, agama, latar belakang sosial budaya, dan sebagainya. Konteks gereja-gereja di Indonesia sekarang ini sungguh-sungguh bersifat majemuk dalam berbagai seginya : suku, ras, agama, budaya, kepercayaan, professi, dsbnya. Kenyataan konteks ini menuntut pola dan sikap hidup pelayanan gereja yang dialogis dan dinamis.

2. Kebangkitan agama-agama di berbagai bagian dunia sekarang ini, baik secara kuantitatif (pertambahan jumlah pemeluk sesuatu agama) maupun kualitatif (mutu penghayatan dan pengamalan ajaran agama), merupakan salah satu ciri zaman modern kita. Hal itu menggembirakan kita, sebab dengan itu nampak bahwa manusia di abad modern ini tetap memiliki rasa dan sikap keterikatannya yang dalam kepada kuasa yang adi kodrati.

3. Gerakan kebangkitan agama nampak dengan jelas di kalangan umat pemeluk agama Islam. Seperti halnya agama Kristen yang dikenal sebagai agama misioner, agama Islam sebagai agama dakwah memperlihatkan kebangkitan yang mengagumkan di kalangan kurang lebih satu miliar pemeluknya di seluruh dunia. Kebangkitan yang mengagumkan itu nampak dalam berbagai kegiatan di bidang keagamaan, kemasyarakatan maupun di bidang politik,yang berkembang dengan amat pesatnya.
Khususnya di Indonesia, agama Islam sedang memasuki era kebangkitan yang bersifat menyeluruh. Semua itu karena persiapan-persiapan dan usaha-usaha yang matang di masa lampau, yang dilaksanakan secara terencana, terus-menerus dan terarah, misalnya di bidang pendidikan, sosial ekonomi, politik, maupun kegiat-an-kegiatan di bidang pembinaan kehidupan keagamaan.

4. Tetapi sementara itu, dengan sedih kita menyaksikan pergolakan-pergolakan bahkan konflik-konflik yang terjadi di berbagai bagian dunia kita, sebagai akibat dari pertentangan antar-umat seagama atau antar-penganut agama dari agama-agama yang berbeda-beda. Di berbagai belahan bumi kita ini, agama justru menjadi penyebab perpecahan, pertikaian, bahkan konflik-konflik berdarah yang meminta korban, seringkali bahkan dengan cara-cara yang paling kejam.

5. Pengalaman-pengalaman kita di Indonesia membuktikan bahwa semakin diperlukan upaya-upaya yang intensif, untuk mengembangkan kerukunan yang aktif dan dinamis di antara para penganut dari berbagai agama, dalam rangka bersama-sama membangun sebuah masyarakat dunia yang aman, sejahtera dan lestari, dengan masing-masing memberikan yang terbaik dari nilai-nilai luhur keagamaan, yang bersumber dari keyakinan dan ajaran agamanya (=kerukunan yang dinamis).

6. Selain konteks masyarakat Islam yang merupakan konteks bersama dan menyeluruh gereja-gereja di Indonesia, konteks agama-agama suku, seperti halnya agama suku Toraja yang dikenal dengan nama Aluk To Dolo, merupakan konteks yang nyata dari gereja-gereja di Indonesia termasuk Gereja Toraja. Agama suku Toraja Aluk to dolo, yang telah digabung dan menjadi salah satu sekte dari agam Hindu Dharma di Bali, memperlihatkan pula "kebangkitan"nya bersamaan dengan digalakkannya industri pariwisata nasional di Tana Toraja. Kenyataan ini merupakan salah satu tantangan yang spesifik bagi Gereja Toraja, sebab di satu pihak Gereja Toraja bertekad untuk turut menyukseskan program nasional di bidang kepariwisataan itu, tetapi di pihak lain Gereja Toraja prihatin akan makin suburnya berbagai praktek sosial budaya dan adat istiadat, terutama di kalangan kelompok masyarakat tertentu, yang, menurut hemat Gereja Toraja, sudah tidak patut lagi untuk ditumbuhkembangkan, baik karena akan merupakan hambatan jangka panjang maupun jangka pendek terhadap jalannya pembangunan nasional.

7. Sebagai sesama manusia dan sesama warga masyarakat dan bangsa Indonesia yang selalu merindukan kehidupan yang adil, makmur, sejahtera penuh kedamaian, maka dengan dasar Pancasila dan UUD 45, warga gereja bertanggung jawab memelihara dan menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Setiap warga gereja bertanggung jawab untuk melaksanakan secara aktif (=pro aktif) usaha memelihara dan menumbuhkembangkan kerukunan yang dinamis intern-umat sesuatu agama, antar-umat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah.

8. Secara teologis dan berdasarkan asas satu-satunya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, penganut agama-agama lain merupakan mitra sejajar menyangkut hak, kewajiban dan martabat manusia dalam membangun seluruh masyarakt dan bangsa Indonesia (band.Mat 25:31-46, khususnya ayat 40). Tanpa mereduksi kebenaran Injil Yesus Kristus, gereja wajib memasuki dialog yang nyata dalam kehidupan sehari-hari dengan para penganut agama-agama lain, dalam rangka bersama-sama membangun sebuah masyarakat dan bangsa yang adil,makmur, dan lestari berdasarkan Pancasila dan UUD 45, dan dalam rangka gereja melaksanakan tugas panggilannya untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk(Markus 16:15).

9. Dialog dipahami sebagai dialog dalam persekutuan masyarakat, dialog dengan tetangga di sebelah rumah, dengan rekan sekantor, teman sepekerjaan,dsbnya. Dialog adalah dialog yang hidup di dalam masyarakat. Cara hidup keteladanan berdasarkan kasih Yesus Kristus merupakan tuntutan bagi setiap warga gereja memasuki dialog dengan penganut agama-agama lain.

10. Untuk memasuki dialog, setiap warga gereja harus memahami imannya sendiri dan mengenal iman serta budaya dan adat istiadat penganut agama-agama lain secara positif dan obyektif. Positif, artinya tanpa kecurigaan, tidak memandang rendah pihak-pihak lain maupun keyakinan orang-orang lain, melainkan sebaliknya mencanangkan penghargaan dan penghormatan terhadap agama dan kepercayaan lain. Obyektif, artinya apa adanya sebagaimana yang dipercayai oleh penganut-penganut dari agama-agama lain, menghargai dan mengakui secara terbuka dan kritis tawaran-tawaran yang positif dan bersifat memajukan atau melayani kehidupan bersama seluruh masyarakat dari kalangan agama-agama lain.

11. Dalam konteks kenyataan tentang kesenjangan sosial dan kemiskinan yang masih membelit sebagian besar masyarakat bangsa Indonesia, gereja harus memusatkan perhatian dan kegiatan misionernya pada kesetikawanan dengan kaum miskin dan lemah secara bersama-sama dan dinamis dengan agama-agama lain.

C. Konteks Dunia Modern: Globalisasi, IPTEK & Informasi.

1). Globalisasi dan modernisasi, yang digerakkan oleh IPTEK sebagai kekuatan intinya, telah mengakibatkan berbagai perubahan mendasar di dalam kehidupan masyarakat bangsa-bangsa di dunia ini, termasuk bangsa Indonesia. Perubahan-perubahan itu menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya akan mendorong terbentuknya sikap serta reaksi masyarakat terhadap proses globalisasi dan modernisasi itu. Sebagai contoh, bertumbuh-kembang-nya primordialisme di kalangan masyarakat bangsa Indonesia dari berbagai lapisan maupun dengan berbagai latar belakang sosial budaya dewasa ini, pada hakekatnya merupakan pencerminan dari reaksi masyarakat terhadap proses globalisasi dan modernisasi yang sedang berlangsung sangat cepat itu.

2. Dalam menghadapi arus globalisasi dan modernisasi itu, gereja harus bersikap positif, kritis, kreatif, dan realistis. Gereja harus berusaha mengantisipasi dampak-dampak dari perubahan-perubahan yang timbul akibat globalisasi dan modernisasi, dalam rangka merumuskan dan meletakkan landasan-landasan moral, etik dan spiritual bagi seluruh masyarakat, khususnya bagi warga gereja, untuk menghadapi era globalisasi dan modernisasi itu. Globalisasi dan modernisasi niscaya akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial budaya, moral etik, dsbnya di tengah-tengah dan bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, yang sebagian besarnya masih terikat erat di dalam nilai-nilai dan tradisi sosial budaya leluhur bangsa Indonesia, serta yang dikenal sebagai masyarakat yang beragama. Dalam hubungan dengan itu, di bawah terang ketaatan kepada Yesus Kristus, bersama-sama dengan golongan-golongan agama lain, gereja harus terus-menerus berusaha agar supaya seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia sungguh-sungguh berpegang teguh pada Pancasila, yang diayakini akan mampu berfungsi sebagai alat penyaring (filter) terhadap segala pengaruh dari luar yang masuk melalui proses globalisasi dan modernisasi itu.

3. IPTEK sebagai inti kekuatan yang menggerakkan proses globalisasi dan modernisasi, memang telah sangat berperan dalam mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Tetapi harus pula disadari bahwa IPTEK dapat pula menimbulkan ancaman dan ketakutan terhadap umat manusia. Sifat ganda IPTEK itu harus selalu disadari. Untuk itu gereja menunjukkan, berdasarkan kesaksian Alkitab sebagai firman Allah, bahwa sikap ganda itu bersumber dari sikap roh manusia di hadapan Allah. Baik buruknya IPTEK itu tidak terletak dan tergantung pada IPTEK itu sendiri. Hal itu tergantung pada diri manusia sebagai pelaku IPTEK. Sisi gelap dan menakutkan dari IPTEK tidak terletak di dalam IPTEK itu sendiri, melainkan di dalam diri manusia yang selalu cenderung melawan Allah dan mendatangkan kerusakan terhadap sesamanya dan lingkungan hidupnya (band. Kej 6:5). Oleh karena itu gereja harus terus-menerus memberikan bimbingan moral, etik, dan spiritual bagi warganya yang berkecimpung dalam pengembangan dan pente- rapan IPTEK, agar hal itu dilakukan demi untuk kesejahteraan umat manusia, khususnya untuk seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia.

4.Sehubungan dengan itu, gereja harus mampu menunjukkan akibat-akibat negatif dari pengembangan dan penterapan sesuatu temuan IPTEK terhadap kemanusiaan maupun lingkungan hidup, seperti mi- salnya penggunaan pestisida, tenaga nuklir (PLTN), eugenetika, pengotoran/pengrusakan lingkungan akibat limbah industri, dsbnya. Gereja harus bersuara secara terus terang terhadap hal itu, demi kemanusiaan, demi keutuhan seluruh ciptaan Allah.
Dengan kata lain, gereja harus terus-menerus menggumuli masalah-masalah moral-etis dan kemanusiaan yang timbul akibat pengembangan dan penterapan IPTEK, dan, bersumber dari kebenaran Allah yang disaksikan di dalam Alkitab, mengembangkan dan menyusun "etika IPTEK" , baik untuk pengembangannya maupun untuk penterapannya, agar harkat dan martabat manusia tetap dijunjung tinggi.

5. Globalisasi, modernisasi dan IPTEK telah semakin memudahkan pelayanan dalam rangka pemenuhan misi gereja. Tetapi juga hal itu telah mengubah pola-pola pengkomunikasian INJIL. Perubahan-perubahan pola itu memang dituntut sebagai akibat dari perubahan pola-pola kehidupan masyarakat akibat pengaruh dari globalisasi, modernisasi, serta penterapan IPTEK di dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Karena perubahan-perubahan itu akan semakin berkembang di masa-masa mendatang, yang merupakan konsekuensi dari ditetapkannya IPTEK sebagai salah satu asas dalam pembangunan nasional bangsa Indonesia, maka gerejapun harus semakin berupaya untuk meningkatkan ketrampilan dalam memanfaatkan berbagai sarana komunikasi modern untuk mengkomunikasikan INJIL secara efektif.

5. Gereja perlu memperlengkapi warga gereja untuk menghadapi berbagai dampak globalisasi, modernisasi dan (pengembangan serta penterapan) IPTEK di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, agar mampu memanfaatkan peluang-peluang yang diciptakan oleh globalisasi, dsbnya itu untuk meningkatkan taraf kehidup-annya, dan jangan terjerumus ke dalam berbagai dampak negatif yang timbul akibat proses itu, seperti misalnya pola hidup konsumtif, materialistis, individualistis, mencari kenikmatan hidup duniawi (hedonistis) misalnya melalui penggunaan obat-obat terlarang (narkotik dan obat-obat atau hal-hal lain yang menimbulklan "kenikmatan luar biasa"), dsbnya. Dalam hubungan itu, generasi muda perlu mendapat perhatian khusus, sebab pengaruh-pengaruh globalisasi, modernisasi dan pengembangan/penterapan IPTEK sangat mudah berkembang di kalangan generasi muda itu. Mereka harus diperlengkapi dengan kemampuan yang positif, kritis, dan kreatif untuk menghadapi era globalisasi, modernisai, dan (pengembangan serta penterapan) IPTEK.

6. Gereja, termasuk Gereja Toraja, terpanggil untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, terutama generasi muda, secara merata dan menyeluruh, dalam rangka menyongsong dan menyukseskan program nasional bangsa Indonesia dalam era tinggal landas, yang akan ditandai dengan pengembangan dan penterapan IPTEK di dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Gereja harus mampu dan berani me- nyuarakan nasib mereka yang tertinggal, miskin dan lemah, agar jangan (terus-menerus) menjadi korban modernisasi dan penyalahgunaan kuasa termasuk kuasa IPTEK, sebaliknya agar justru mereka itulah yang menjadi sasaran dan pilihan yang didahulukan dalam upaya meningkatkan mutu kehidupan manusia melalui pengembangan dan penterapan IPTEK. 7. Gereja, khususnya Gereja Toraja, turut bertanggung jawab dalam pengemba- ngan pariwisata, agar program nasional ini dapat pula dijadikan sebagai momentum untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar-bangsa, budaya, dan bahasa, selain sebagai kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonomi mereka. Bagi gereja, pengembangan hubungan persahabatan antar-bangsa, budaya, dan bahasa itu dilaksanakan dalam terang pelaksanaan misi gereja untuk 'memberitakan Injil kepada segala makhluk di seluruh dunia' (Mark 16:15). Di pihak lain, gereja harus mempersiapkan warga gereja dan bahkan segenap lapisan masyarakat untuk menghadapi dan meredam pengaruh-pe- ngaruh negatif, yang akan masuk bersamaan dengan masuklnya arus wisatawan ke dalam sebuah masyarakat, sepertinya misalnya masyarakat di daerah tujuan wisata Tana Toraja.

8). Dalam melaksanaan hal-hal tersebut di atas, gereja khususnya Gereja Toraja harus selalu berupaya mengembangkan hubungan dan kerjasama dengan semua pihak. Ia harus selalu menyadari, bahwa ia berada di tengah-tengah sebuah masyarakat yang majemuk, baik secara agamawi, sosial budaya, ras/etnis, dsbnya. Kemajemukan itu harus diterima sebagai kehendak Allah, dan oleh karena itu harus dialami dalam ketaatan kepada Allah dan sikap menghormati, menghargai, dan mengasihi sesama manusia dan seluruh makhluk ciptaan Allah lainnya.
Kemajemukan itu merupakan suatu peluang dan tantangan bagi gereja khususnya Gereja Toraja untuk menguji dirinya, apakah ia mampu menciptakan dan membina sebuah hubungan yang komunikatif dan dialogis dengan semua pihak dari berbagai lapisan masyarakat, golongan agama, latar belakang sosial budaya, dll dalam rangka pelaksanaan misi kesaksiaannya tentang Injil Yesus Kristus. Dan dalam hubungan dengan itu pula, kemajemukan itu menjadi suatu tantangan dan peluang bagi gereja termasuk Gereja Toraja untuk membina kerjasama dalam rangka bersama-sama menyukseskan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Untuk itu jemaat-jemaat khususnya di dalam lingkungan Gereja Toraja perlu menumbuhkembangkan sikap dan mental yang terbuka, komunikatif, dialogis untuk membina kerjasama dengan masyarakat di sekitarnya.


Demikianlah Kesimpulan sebagai Hasil Konsultasi Pekabaran Injil II Gereja Toraja.



Rantepao, 18 Maret 1994.

Tidak ada komentar: